Mengajar merupakan salah satu aktifitas dan rutinitas mulia, betapa besar manfaatnya bagi yang benar-benar memahami makna sesungguhnya. Mengajar berarti memberikan contoh dan bimbingan dalam berpikir, menilai, dan melakukan hal yang baik dan benar secara fakta dan logika. Seorang pengajar bertanggung jawab memberikan pendidikan yang berkualitas, efektif, dan sesuai dengan kebutuhan peserta didiknya.
Namun, ternyata yang terjadi di Indonesia benar-benar tidak sesuai dengan arti mengajar, mayoritas guru-guru saat ini meng’orientasikan mengajar sebagai sebuah “profesi” untuk mendapatkan gaji untuk memenuhi kebutuhan hidup, bukan sebagai sarana mengembangkan, mengajarkan, dan mensosialisasikan ilmu yang telah mereka peroleh kepada murid-muridnya. Coba saja perhatikan beberapa berita televisi, “guru honorer demo telat mendapatkan gaji, murid-murid terlantar”, “gaji ke 13(kenaikan gaji) belum diberikan, guru bakar baju dinas, sekolah diliburkan”, beberapa contoh tentang penyimpangan yang mengejutkan(atau bahkan aib) bagi dunia pendidikan, tetapi mungkin saja saat ini sudah dianggap suatu hal “wajar”, sungguh suatu kenyataan menyedihkan dan mengerikan.
Guru adalah(seharusnya) merupakan suri tauladan yang baik bagi mentalitas dan pola pikir peserta didiknya, seperti semboyan bapak dan pahlawan pendidikan Indonesia Ki Hajar Dewantara yang legendaris: “Ing Ngarso Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani” artinya: “di depan menjadi panutan dan harus memberikan contoh yang baik, di tengah ikut serta membantu dan memberikan semangat, di belakang memberikan dukungan”. Tetapi kenyataan yang terjadi saat ini lagi-lagi bertentangan dengan semboyan tadi, guru saat ini mayoritas melakukan berbagai pelanggaran dan penyimpangan, dan mungkin lebih parahnya, mereka menyebutnya(bahkan secara lugas, percaya diri, dan terang-terangan) sebagai suatu aktifitas rutin yang mampu menjaga stamina dalam mengajar, namun disisi lain mereka juga mendukung ucapan, gerakan, dan semboyan yang menentang aktifitas tersebut.
Sebut saja merokok, di setiap sekolah dapat dipastikan terdapat himbauan, sosialisasi, dan larangan terhadap aktifitas merokok, baik itu berupa sekedar ucapan lisan dari tiap-tiap guru kepada muridnya, sampai pada poster berukuran tiga kali lima meter. Yang sangat disayangkan disini adalah dewan guru di sekolah hanya memasang poster tersebut, hanya “memasang dan memamerkan” nya bak sekedar rangkaian kata-kata indah “bisu”, mereka sendiri tidak menerapkannya pada aktifitas keseharian, bagaimana bisa jalan kalo cuman dipajang tapi nggak diterapkan? jika menginginkan sosialisasi seperti tentang rokok dan lainnya berjalan dengan lancar dan sukses, guru harus mampu mengendalikan dan juga menghentikan kebiasaannya(merokok) tersebut. Berikan contoh yang baik untuk diikuti dan diterapkan oleh semua peserta didik, hilangkan kebiasaan merokok paling tidak saat sedang berlangsung Kegiatan Belajar Mengajar.
Nida says
Kayaknya sih ga semua guru kayak gitu, coba aja liat guru2 yg ikhlas yg ada di pedalaman2 ._.v
Feby says
Ya namanya juga manusia, ga semua orang mempunyai pemikiran yg sama.
mungkin meereka yang melakukan sperti itu karena beberapa faktor mempengaruhi keadaan.
yah semoga saja ceper berbenah diri agar tidak menjadi contoh para murid2 nya.